boleh baca tapi jangan ditiru, selamat membaca, siapa tahu berguna....

Selasa, 01 November 2011

Cerita Angkot #1

Angkot: Menyebalkan Tapi Dibutuhkan

 Angkot. Mendengar namanya, membuat pikiran kebanyakan orang langsung melanglangbuana ke daerah tempat saya dibesarkan, Bandung. Padahal, angkutan umum macam ini bukan hanya ada di Bandung saja. Di Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Cianjur, Malang, Surabaya, bahkan ibukota sendiri punya yang namanya angkot, hanya beda nama.
 Tapi mungkin, karena angkot di Bandung ini luar biasa banyak sampai banyak kejadian yang bisa diceritain, maka orang akan berpikir Angkot identik dengan Bandung. Engga masalah dengan pikiran mereka yang menganggap Angkot adalah salah satu identitas dari kota Bandung, toh memang seperti itu kejadiannya. Tapi bukan sejarah Angkot yang bakal saya bagi di sini, tetapi setiap moment suka dan tidak suka saya selama menggunakan Angkot, yang pasti juga sering dialami oleh kalian para Angkoters.
 Saya kenal angkot sendiri sudah cukup lama, tetapi baru rutin menggunakan angkot ketika saya duduk di bangku SMP. Niat utama saya menggunakan Angkot ketika itu adalah karena saya ingin mengambil arah yang lebih jauh untuk tiba di sekolah. Padahal, kalau mau tahu rumah saya dan sekolah jaraknya tidak terlalu jauh, bahkan bisa sampai dengan menggunakan becak. Tapi karena saya ingin membangun image bahawa rumah saya cukup jauh dari sekolah, makanya saya mulai menggunakan angkot.
Belum banyak angkot yang beredar saat itu, saya pun hanya menggunakan angkot Riung Bandung-Dago dengan ongkos Rp 200  (kalo bayar segitu sekarang pasti di tabok mamang angkotnya) dilanjut dengan angkot ST Hall-Sadang Serang dengan ongkos Rp 100 (makin di tabok klo sekarang bayar segitu). Pokoknya, saat SMP kelas 1 saya kurang lebih bawa uang sekitar Rp 5000 dan itu pasti sisanya banyak karena saya tidak banyak menggunakannya untuk angkot.
 Dan ketika rumah saya pindah ke daerah Riung Bandung saat kelas 2 SMP, makin giranglah saya. Bukan hanya karena saya bisa mendapatkan ongkos lebih, tapi juga karena saya bisa lebih lama duduk di Angkot. Saking cintanya sama Angkot, bahkan saya sampai lebih suka tidur di Angkot daripada di mobil sendiri. Yang pasti, waktu SMP dulu saya lebih cinta sama Angkot...
 Kecintaan saya sama Angkot dilatarbelakangi oleh, dulu menurut saya Angkot yang ada masih belum banyak, supirnya masih ramah, dan saya belum mengalami ribuan kejadian yang bikin dongkol atau kejadian bodoh yang patut ditertawakan.
 Sekarang kecintaan saya kepada Angkot berubah menjadi hanya sebuah kebutuhan sebagai seorang warga Bandung yang tidak bisa naik motor meskipun latarbelakang pekerjaan saya menuntut untuk menggunakannya. Jadi sekarang, di mata saya Angkot hanyalah alat transportasi umum yang menjengkelkan, tapi juga yang saya dibutuhkan.

Sabtu, 10 September 2011

Berdamai Dengan Kehidupan


Bosan mulai melanda saat liburan hampir usai dan pulau dewata tak lagi memikat hatiku seperti yang berbulan-bulan lalu menggebu ingin kusambangi kembali. Terlebih ketika rumah keluargaku di Bali kembali sepi karena satu per satu mulai pergi dan kembali ke daerah masing-masing, meninggalkan kami keluarga dari Bandung di rumah yang terletak di tengah kota Denpasar.

Tiba-tiba tercetus ide untuk meninggalkan rumah, berjalan menapaki tanah beraspal daerah Puputan, berusaha menghibur hati dengan sebatang rokok yang berhasil kuselundupkan ke saku. Sebuah mini market didekat rumah tampak menggoda untuk kusambangi. Menghabiskan sebatang rokok, bosan tak juga pergi dari benakku. Akhirnya aku melihat menara museum Bajra Sandhi di tengah Lapangan Puputan.

Sudah kesekian kalinya aku menginjakkan kaki di Lapangan Puputan yang luasnya dua kali lipat Lapangan Saparua di Bandung. Berulang kali aku berlari mengelilingi museum Bajra Sandhi untuk berolah raga setiap kali datang ke Bali, tetapi baru kali ini aku merasa tertarik untuk datang hanya sekadar untuk menikmati beragam kehidupan yang ada di Lapangan Puputan.

Aku menemukan sebuah bangku dari batu marmer putih mengkilap, tepat di bawah rimbunnya pepohonan. Tanpa buang waktu, aku duduk di tempat tersebut dan dalam sekejap rasa bosan yang melanda, hilang tanpa jejak.

Hijaunya hamparan padang rumput di tambah ratusan pohon yang tumbuh subur di atas tanah gembur, berhasil menjernihkan pikiranku yang selama ini hitam berjelaga. Kabut yang menyelimuti benakku langsung tersapu bersih kala kicauan suara burung bersautan dari pepohonan.

Sinar mentari senja mengintip dibalik celah-celah pohon tepat di atas tempatku duduk bersandar dengan santai, angin bertiup lembut, menyapu muka dan menerbangkan setiap helai rambutku menambah kedamaian hidup yang selama ini tersangkut jauh di belakangku, kembali ke sisiku.


Kuhirup udara kota Denpasar dalam-dalam sampai memenuhi paru-paruku, untuk pertama kalinya sejak mendapati pekerjaan yang semakin menggila setiap hari, aku merasa senang dengan kehidupan yang telah kudapatkan, mensyukuri semua yang sudah berhasil aku raih. Berdamai dengan kehidupan, adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan beberapa menit berada di tengah paru-paru kota Denpasar.
Thanks to God for giving me a beautiful life, thanks to my parents and my big family for taking care of me until now, thanks to all my friends for sharing a good life with me..
I Love You All *smooch*

Kamis, 18 Agustus 2011

Bukan Penulis Yang Baik

Okeeeyyy saya akuin, saya memang bukan penulis yang baik... mengisi blog ini pun seingetnya, semaunya... bukan karena saya tidak punya banyak waktu, tapi lebih karena saya bingung mau nulis apa... dan akhirnya lebih memilih waktu menulis dengan menonton film-film Korea yang saat ini makin marak.

Dan jujur saja, sampai saat ini saya bingung harus nulis apa kecuali tentang "angkot" yang memang saya rencanakan akan saya ceritakan sejak awal saya mengenal "angkot".... dan karena saya adalah "angkoters", saya yakini kalau sejak memulai cerita tentang suka dukanya mengangkot akan terus tertulis secara rutin, layaknya cerita sinetron yang tidak ada habisnya... (akan habis ketika saya mulai membawa kendaraan yang entah kapan terjadi)






Minggu, 08 Mei 2011

Otak Kiri Memang Udah Tumpul Dari Dulu

Angka 1, 2, 3 dan seterusnya memang gak terlalu sulit buat otak kiri saya. Tapi kalau angka itu dijumlah, dikali, dibagi di tambah persen... doooh... buntuu...

dari cerita sebelumnya juga udah pada tau kalau segitu tidak berbakatnya saya sama tambah-tambahan, kali-kalian, bagi-bagian... pokoknya hal-hal yang menyangkut perhitungan akan selalu membuat otak saya berputar keras dan akhirnya kelelahan, alias Lieur...

Bakat tidak berguna itu, akhirnya terbawa sampai sekarang ke kerjaan saya yang sekarang. Dari semua desk wartawan yang ada, saya selalu kewalahan ketika harus meliput ekonomi. Karena narasumber dan pertanyaan dari para wartawan lain selalu berkaitan dengan angka, yang sudah pasti membuat sakit kepala dan akhirnya mual.

Pernah satu kali, saya harus pergi ke salah satu cafe di PVJ untuk liputan Honda yang launcing tim racing baru karena bergabung dengan tim racing besar lain (saya lupa nama timnya). Intinya, di sana saya ketemu sama para wartawan ekonomi yang sudah siap dengan pertanyaan seputar, "berapa persen produksi tahun ini" dll, dll

Ketika giliran wawancara, saya siap mencatat data dengan blackberry di tangan, tampang udah sok ngerti, ketika pertanyaan pertama dari salah satu wartawan terlontar, saya mencatat jawaban narasumber (belum berkaitan dengan angka) dengan cepat. Ketika pertanyaan kedua terlontar yang mulai menanyakan persenan, otak saya langsung berputar keras, dan saya diam beberapa saat untuk mencerna pertanyaan serta jawabannya.

Tapi lama-lama kok omongan mereka berasa semakin aneh, keringat dingin langsung keluar di sekitar wajah sampai ketiak. Dan saya merasa tengah berada di tengah perkumpulan alien yang sedang melakukan tanya jawab dengan bahasa yang sama-sama alien. Aduh, sumpah... kepala saya sakit banget... akhirnya saya mengendap-endap dan pergi meninggalkan acara tanya jawab itu dan memilih untuk menghabiskan sisa makanan saya di meja.

Armin, salah seorang fotografer dari Bisnis Indonesia yang kebetulan duduk di sebelah saya saat itu bertanya: "Udah selesei, Meg wawancaranya?"

Saya cuma bisa angkat bahu sambil nyengir dan ngejawab: "aq mah udah selesei, cukup lah di tambah yang dari rilis," jawab saya sambil pasang tampang sok santai. Padahal kalau dia tahu betapa kusutnya otak kiri saya sampai akhirnya saya memutuskan menyerah dengan wawancara dengan bahasa alien itu...

Kejadian ini terulang lagi kemarin, ketika ada acara Honda Jazz Stars 3 di Ciwalk. Karena sekarang saya memegang berita life style yang juga berkaitan dengan hiburan, jadi saya ikut hadir di acara itu. Dan sudah bisa dipastikan, wartawan yang hadir semuanya wartawan ekonomi.

Kebetulan, saya duduk semeja sama Kang Agus dari Galamedia, ngobrol kesana-kesini, waktu saya nanya: "emang enak ya kang klo pegang ekonomi?"

Dengan santai, dia menjawab: "enak, soalnya otak lebih kerja keras daripada wartawan kriminal, lebih banyak wawasan dari pada pegang provinsi atau kota."

Dengar jawaban ala kang agus, saya cuma bisa nyengir sambil ngomong: "Kalo saya kang, otak kiri saya kayaknya udah tumpul dari SMA, dari SD malah... g sanggup saya ngurusin angka."

Tapi untungnya, wawancara kemarin berlangsung lumayan lancar karena tidak terlalu banyak ngomongin angka, dan lebih cenderung ke teknis acara dan program lanjutannya dari Honda Jazz. Jadi sambil ngelus dada, saya ngomong: "Alhamdulillaaaaaaaahhhh" di dalam hati.