tag:blogger.com,1999:blog-72110974358659828812024-03-13T07:45:47.810-07:00-cerita sang pencari hujan-hanya catatan kecil dari si pemuja hujanmeeghahttp://www.blogger.com/profile/02578982226655767577noreply@blogger.comBlogger10125tag:blogger.com,1999:blog-7211097435865982881.post-15958085043467763072017-02-12T07:22:00.000-08:002017-02-12T07:22:46.555-08:00Maaf Itu Mahal<div class="MsoNormal">
Perempuan itu ada di sana. Di balik pintu rumah, bersama dua
teman lainnya. Lulu dan Lele. Ketiganya melangkah, melewati pintu. Satu per
satu mengucap belasungkawa sambil memberikan pelukan hangat, kepada saya. Termasuk
dia, perempuan berjilbab dan berkacamata. Anggap saja, namanya Alin.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Buat saya, kedatangan Alin saat Papah meninggal merupakan
kejutan. Karena sudah lebih dari dua tahun kami tidak berkomunikasi. Padahal,
profesi kami sama. Teman kami sama. Sering juga jumpa di berbagai tempat. Meski
begitu, saya selalu menganggapnya tak ada. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Alasannya sederhana. Saya merasa tidak melakukan kesalahan
kepada Alin, yang pada suatu hari melakukan aksi bisu. Tanpa penjelasan, dia marah
dan memutuskan hubungan pertemanan yang sudah terjalin lama. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sebenarnya, saya mendengar banyak gosip terkait aksi yang
dilakukan Alin. Tapi saya tak pernah mau ambil pusing. Mau membisu sampai tua
pun, itu haknya si Alin. Cuma ya, selama dia menganggap saya tak ada, saya pun
akan melakukan hal serupa. Dan sebaliknya, ketika dia menyapa, bertanya, atau
mengajak bicara saya akan menanggapinya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Alin, bukan satu-satunya yang pernah saya anggap tak ada di
muka bumi. Masih ada beberapa teman, yang mendadak membisu, marah tanpa memberi penjelasan dan keterangan
lengkap apa kesalahan saya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Ketika mereka mulai mengajak saya bicara atau minimal
menyapa saat jumpa, saya akan dengan mudah melupakan kejadian sebelumnya.
Menganggap semua baik-baik saja dengan beberapa catatan tertentu. Misalnya
saja, ‘jangan terlalu dekat dengan si A’.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tapi sesungguhnya, memaafkan orang itu bukan hal yang mudah
buat saya. Terlebih ketika perkataan atau perbuatannya sudah menggores hati, meski
hanya secuil. Baik sengaja atau tidak. Misal berbohong. Sekecil apapun jenis
bohongnya, kalau sudah membuat sakit ya... Maafkan saya, kalau saya anggap kamu
bukan bagian dari makhluk hidup di muka bumi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Jadi, meski sudah menganggap saya tak ada selama
bertahun-tahun, tetapi masih bisa membuat saya mengeluarkan beberapa patah kata
di kemudian hari, selamat... Kalian sudah lolos dari catatan hitam Mega Dwi
Anggraeni.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
meeghahttp://www.blogger.com/profile/02578982226655767577noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7211097435865982881.post-92112602683304993072017-02-03T07:39:00.003-08:002017-02-03T07:39:52.373-08:00Hutan, Sendiri, dan Memori<div class="MsoNormal">
<i>“Tau ngga kamu, dek?
Di danau itu sebenarnya ada monster. Besar, bentuknya kayak naga. Muncul setiap
malam.”</i> Ucapan si Kakak belasan tahun lalu itu, kembali muncul dalam kepala
saat mata menangkap kolam buatan di sudut Taman Hutan Raya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-kxPasMw6vMI/WJSiEdlOZyI/AAAAAAAADEo/bC6MlFIQXK0UBRyLxpQtk3rs7zL06gXlgCEw/s1600/tahura%2B4.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="436" src="https://2.bp.blogspot.com/-kxPasMw6vMI/WJSiEdlOZyI/AAAAAAAADEo/bC6MlFIQXK0UBRyLxpQtk3rs7zL06gXlgCEw/s640/tahura%2B4.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tak ada yang berubah dari kolam itu sejak belasan tahun
lalu. Airnya masih tetap keruh. Banyak hewan terbang di atasnya. Entah lalat,
entah nyamuk. Dan mungkin juga, monster yang disebut si Kakak waktu itu masih
bersembunyi di dalamnya. Yang berubah hanya, ukurannya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dulu, ketika masih Taman Kanak-Kanak, Taman Hutan Raya
sering jadi tujuan piknik Minggu Pagi bersama Pap’s. Perasaan kurang menyenangkan selalu muncul
saat melewati kolam. Rasanya menakutkan melihat kolam dengan ukuran sebesar
danau. Airnya keruh, seolah dalam. Ditambah cerita khayalan yang ditanam si
Kakak. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sekarang, kolam itu tak lagi mengintimidasi. Kolam itu
seolah menciut, dari kolam raksasa serupa danau menjadi empang. Rasa takut pun berubah menjadi sedih, lantaran
kolam terlihat kotor dan kumuh. Bahkan
tempat ngopi kekinian di samping kolam, tak membuatnya terlihat lebih indah.
Dia tetap kumuh. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<a href="https://2.bp.blogspot.com/-uEXzreVRKN8/WJSh_f4kY5I/AAAAAAAADEM/qrzos36wObU-43S-Hvzf6hYF92l7ti2lgCLcB/s1600/tahura%2B2.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="142" src="https://2.bp.blogspot.com/-uEXzreVRKN8/WJSh_f4kY5I/AAAAAAAADEM/qrzos36wObU-43S-Hvzf6hYF92l7ti2lgCLcB/s200/tahura%2B2.jpg" width="200" /></a>Kolam hanya bagian kecil dari ingatan masa lalu yang
tiba-tiba muncul di kepala pada Rabu siang kemarin. Sebenarnya, tidak ada niat
untuk bernostalgia di hutan yang besarnya tak seberapa itu. Hanya keinginan
mendadak untuk menikmati udara sejuk dan menghirup udara segar. Sendiri.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Iya, sendirian. Memang biasanya, saya piknik bersama teman.
Entah itu sepedaan, entah itu trekking, entah itu main hammock. Selalu ada
teman-teman di sekeliling saya. Kemarin, tiba-tiba saja ingin jalan sendiri ke
hutan. Dan pergilah saya ke hutan terdekat.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Begitu membayar tiket sebesar 12 ribu rupiah, pohon-pohon
tua langsung menyambut. Aroma tanah basah. Udara sejuk mendekati dingin. Dan...
Hujan. Sebagainya penyuka hujan, saya senang-senang saja disambut rintik-rintik
air dari langit. Ketika hujannya membesar, barulah saya berteduh di sebuah
saung bobrok. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<a href="https://4.bp.blogspot.com/-uJm94cpToNE/WJSi8iC9v4I/AAAAAAAADEs/WUu9SKmD78kKjfv_rKTaDcr5uICGYwNXwCLcB/s1600/tahura%2B8.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="136" src="https://4.bp.blogspot.com/-uJm94cpToNE/WJSi8iC9v4I/AAAAAAAADEs/WUu9SKmD78kKjfv_rKTaDcr5uICGYwNXwCLcB/s200/tahura%2B8.jpg" width="200" /></a>Sambil menunggu hujan mereda, beberapa gambaran masa lalu
muncul. Termasuk ketika gigi si Kakak tanggal ketika makan jagung bakar di
Tahura. Saya lupa, posisi tukang jagung bakarnya. Yang saya ingat, ketika
gigitan pertama, tiba-tiba dia mengaduh dan satu gigi jatuh. Bukannya nangis,
dia malah nyengir memamerkan ‘jendela’ baru kepada saya, Pap’s dan Emak.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Lempar ke atas, Yu,” kata Pap’s waktu itu yang langsung
dituruti oleh si Bayu, kakak saya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
Taman Hutan Raya memang seolah luas padahal tidak. Yang
membuat kaki lelah adalah konturnya yang mendaki dan menurun. Meski begitu,
satu hingga dua jam perjalanan cukup untuk mengisi paru-paru dengan udara baru.
Ditambah pemandangan yang jarang didapat.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sudah sering saya menginjakkan kaki di Taman Hutan Raya.
Seperti kebanyakan orang, saya dan beberapa teman datang pada akhir pekan untuk
piknik sambil olahraga. Karena perjalanan kami tak berhenti sampai Goa Belanda
yang sampai sekarang masih jadi sarang makhluk tak kasat mata. Tapi terus
sampai Maribaya. Melewati penangkaran rusa, tujuh tanjakan, dan beberapa pohon
rubuh.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://4.bp.blogspot.com/-YndPeKbptTg/WJSiFqo_8XI/AAAAAAAADEw/4VyPnRm-1W0ZqBuNRk0q5b48Dgi5aTC7ACEw/s1600/tahura%2B6.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="448" src="https://4.bp.blogspot.com/-YndPeKbptTg/WJSiFqo_8XI/AAAAAAAADEw/4VyPnRm-1W0ZqBuNRk0q5b48Dgi5aTC7ACEw/s640/tahura%2B6.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Di akhir pekan, para penghuni tetap Taman Hutan Raya
biasanya baru muncul ketika mendekati Maribaya. Mereka nongkrong cantik di atas
pagar dengan bajunya yang berwarna abu-abu dan putih. Tak jarang makanan ada di
tangan mereka. Mungkin saking banyaknya tamu yang datang, para penghuni ini
malas atau takut menyambut tamu-tamu. Mereka lebih memilih bersantai di atas
pohon sambil menikmati makanannya atau mengasuh anaknya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sementara kemarin, saat tak banyak pengunjung, para penghuni
ini bahkan sudah mulai menampakkan diri di pintu masuk. Beberapa turun ke
jalan, tetapi ada juga yang diam di dahan pohon paling rendah. Matanya awas,
memperhatikan tamu-tamu yang masuk ke rumahnya. Banyak juga yang bercanda di
dekat patung Djuanda.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Monyet-monyet juga menyambut kedatangan tamu di pintu masuk
Goa Belanda. Ada yang terhibur dengan kehadirannya, ada juga yang menjerit
ketakutan lantaran para penghuni tetap Taman Hutan Raya itu berlarian ke sana
ke mari. Loncat ke semak-semak, naik ke pohon dan mengintip dari balik pohon.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://3.bp.blogspot.com/-6CxfMOH3vW0/WJSiG8SXCqI/AAAAAAAADEw/4iqTv9UX8VwIuPJkWkgSGWGfybcx72rrQCEw/s1600/tahura%2B7.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="263" src="https://3.bp.blogspot.com/-6CxfMOH3vW0/WJSiG8SXCqI/AAAAAAAADEw/4iqTv9UX8VwIuPJkWkgSGWGfybcx72rrQCEw/s400/tahura%2B7.jpg" width="400" /></a></div>
<o:p></o:p><br />
<div class="MsoNormal">
Yang jelas, kehadiran para monyet itu kembali mengingatkan
saya pada Minggu Pagi belasan tahun lalu. Ketika Pap’s menunjuk ke atas pohon di
dekat pintu masuk Taman Hutan Raya. “Tuh de, ada monyet!” yang langsung
ditanggapi oleh si Kakak. Sementara saya, hanya plenga plengo mencari apa yang
ditunjuk Pap’s, tapi tak juga mendapat monyet yang dimaksud.</div>
<div class="MsoNormal">
<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kemarin, tanpa jari telunjuk Pap’s saya bisa melihat gerakan
monyet. Bahkan di puncak pohon tertinggi di Taman Hutan Raya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tidak banyak yang berubah dari Taman Hutan Raya, kecuali
tukang ojeg yang betebaran di beberapa sudut taman. Menawarkan tour dengan
motornya. Silakan naik, kalau memang ingin piknik tanpa lelah dan silakan
menolak dengan halus jika merasa butuh jalan santai sambil menghirup udara
segar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
meeghahttp://www.blogger.com/profile/02578982226655767577noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7211097435865982881.post-58235675205692918482017-01-28T06:39:00.001-08:002017-01-28T06:39:45.117-08:00Kampung Halaman 500 Meter<div class="MsoNormal">
Rumah di sudut Jalan Ermawar itu tua. Mungkin usianya sudah
mencapai puluhan bahkan ratusan tahun. Dindingnya putih kusam. Pintu garasinya
terbuat dari seng dan sudah bolong-bolong. Penghuninya bisa menjadikan lubang
itu untuk mengintip siapapun yang menekan bel untuk bertamu. Atau mengintip
tetangga yang sedang dimusuhi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ada pohon jambu yang tumbuh subur di halaman depannya.
Setiap musimnya, buah-buah berwarna merah muncul. Sementara di bagian samping,
sebuah pohon kelengkeng dan cermei menjulang tinggi. Ketiga pohon itu
melindungi rumah dari panas matahari, tetapi mengundang ulat bulu dan bunglon
untuk bermain di sekitar rumah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Rumah bernomor dua itu juga sangat besar. Ada enam kamar
tidur di dalamnya. Dua kamar utamanya, terletak di bagian depan rumah. Di
samping ruang tamu dan ruang televisi. Ukurannya, kira-kira bisa menampung satu
tempat tidur king size, satu tempat tidur single, dua lemari baju, dan satu
lemari belajar. Sementara empat kamar di belakang, ukurannya lebih kecil.
Tetapi, tetap saja besar. Saking besarnya, jika menempatkan sebuah tempat tidur
queen size, satu lemari baju dan satu meja belajar, kita masih bisa bergerak
dengan leluasa.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Selain memiliki enam kamar berukuran besar, rumah itu juga
memiliki satu taman di bagian tengah yang terhubung dengan garasi. Tamannya
cukup luas, hingga para penghuninya bisa bermain bola. Sementara di bagian
belakang, ada satu taman lagi yang kerap dijadikan kandang peliharaan oleh si
empunya rumah. Seorang janda bernama Siti Sumarsiah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Rumah yang ditempati oleh Siti untuk membesarkan kesembilan
anaknya itu bukan satu-satunya di Jalan Ermawar. Di sepanjang 500 meter Jalan
Ermawar, hampir semua rumahnya memiliki besar dan kondisi yang serupa dengan
rumah nomor dua. Beberapa rumah saja yang terlihat lebih baik karena rutin
diperbaiki.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kebanyakan, penghuni rumah di Jalan Ermawar adalah janda dan
pensiunan TNI. Ada banyak cerita lahir di sepanjang Jalan Ermawar. Setiap rumah
memiliki sejarahnya sendiri. Begitu juga dengan rumah nomor dua. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Di rumah nomor dua itu, Siti membesarkan kesembilan anaknya
sampai mereka menikah dan memberikan keturunan. Dari sembilan anaknya, hanya dua
yang memutuskan tinggal di rumah itu untuk menemani sang ibu. Yang pertama
adalah Tati Endang Dradjati, anak perempuan tertua di keluarga yang menikahi
Rochmatul Darodjat. Yang kedua adalah Endang Prayekti Rahayu yang menikahi
seorang pria asal Surabaya, Mas Kokok Eko Kintadi. Sementara yang lainnya,
meninggalkan rumah untuk membuat kisah baru di rumah baru bersama keluarga
baru. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sebelum memutuskan tinggal di rumah masa kecilnya, Tati
sempat ikut suaminya ke berbagai kota. Mulai dari Jakarta sampai Surabaya. Dia
juga sempat tinggal di Malang, usai melahirkan anak keduanya, Mega Dwi
Anggraeni. Maklum, sang suami merupakan pegawai pemerintah yang kerjanya berdasarkan
proyek. Dan keluarga itu baru kembali ke Bandung ketika Mega berusia tiga
tahun.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tumbuh dan besar di Bandung membuat Mega kebingungan jika
seseorang menanyakan kampung halamannya. Bagaimana tidak? Ayahnya, besar dan
tumbuh di tempat kelahirannya, Malang. Ibu, bukan orang Bandung asli, meski
lahir dan besar di Bandung. Bogor dan Madiun, melebur di darahnya. Sementara
dia, lahir di Surabaya dan tumbuh di Bandung.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Beberapa kali dia sempat diajak “pulang kampung” oleh sang
Ayah ke Malang. Tapi Mega selalu merasa, Malang bukan kampung halamannya.
Malang hanya tempat tinggal nenek dari ayahnya dan juga adik-adik ayahnya, yang
sesekali dia kunjungi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Belakangan, dia mulai berpikir “kampung halaman”nya adalah
Jalan Ermawar. Lantaran hampir 11 tahun dia tumbuh di sana. Di sana juga, Mega
mulai belajar berteman. Apalagi, di sepanjang jalan itu ada lima orang yang
seumur dengannya. Ada Angki, Risa, Arif, Andy, dan Candra.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kelima orang inilah yang kerap menghabiskan waktu bersama
Mega. Sepulang sekolah, keenamnya berkumpul. Terkadang dua sepupu Mega, Oka dan
Setio ikut bergabung dengan geng Ermawar ini, bermain kucing-kucingan. Main
sepeda keliling komplek. Jajan di warung langganan. Mencuri buah kersen di
komplek sebelah. Atau berkumpul di salah satu rumah, hanya sekadar untuk
ngobrol dan becanda. Geng itu akan semakin besar ketika Kakaknya Mega dan
teman-temannya dari komplek sebelah bergabung.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Bukan hanya itu, Mega merasa di Ermawar juga dia bisa
berkumpul bersama keluarga dengan format lengkap. Meski hanya keluarga dari
sang ibu. Karena hampir setiap hari Tante, Om, dan sepupu-sepupunya datang
sepulang sekolah dan pulang ketika malam.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ketika hari Raya Lebaran tiba, rumah berusia ratusan tahun
itu akan semakin ramai. Maklum, Siti sang nenek merupakan anak perempuan tertua
yang ada di Bandung. Beberapa adiknya yang tinggal di sekitar Bandung selalu
mengunjunginya, tak ketinggalan membawa anak dan juga cucunya. Tak heran jika
Tati dan ibunya selalu sibuk menyiapkan berbagai makanan di rumah. Ada rendang,
opor, dan berbungkus-bungkus ketupat. Semuanya bisa habis dalam sehari.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tapi rutinitas di Ermawar nomor dua itu harus terhenti. Karena rumah tersebut milik negara,
jadi sekitar satu tahun setelah Siti meninggal, dua keluarga yang masih tinggal
di sana pun harus meninggalkan rumah. Begitu juga dengan Mega dan keluarganya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kini Mega dan keluarganya tinggal di sebuah rumah di daerah
Bandung Timur. Jauh dari tengah kota. Teman-teman masa kecilnya juga tak lagi
mendiami Jalan Ermawar. Jalanan itu kini sepi. Tak ada celoteh, canda, dan tawa
anak-anak lagi setiap sore. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Meski begitu, sampai saat ini Mega masih mengunjungi Jalan
Ermawar. Beberapa waktu lalu, ketika ayahnya masih ada dan ibunya masih sehat,
keduanya mengajak Mega, kakak dan adiknya untuk Sholat Ied di sana.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Kita pulang kampung dulu,” celoteh sang ayah sambil
melajukan mobilnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kini Mega berpikir. Kampung halaman, bukan hanya tempat kau
dilahirkan. Bukan hanya sekadar tempat kau dibesarkan. Tetapi tempat di mana
kau bisa dekat dengan keluarga dan juga teman. Tempat yang melahirkan berjuta
kenangan tak terlupakan. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
meeghahttp://www.blogger.com/profile/02578982226655767577noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7211097435865982881.post-51674685501138601432012-01-27T06:09:00.000-08:002012-01-27T06:09:35.973-08:00Cerita Angkot #2<div>
<b>Angkot: Tarif Suka-suka</b></div>
<div>
<br /></div>
Jika tarif Rp 4000 sampai Rp 5000 biasa diterapkan oleh bis, apa pun merek busnya, selama masih ada di dalam kota Bandung kita akan menemukan angka tersebut ditempelkan dekat kepala sang supir dengan angka yang besar-besar, jadi tidak mungkin terlihat oleh semua penumpangnya. Bagaimana dengan angkot?<div>
Bagi para angkoters pemula, pasti akan kebingungan berapa kalian harus mengeluarkan uang untuk membayar supir angkot, yang jika berwajah garang pasti akan kalian berikan uang lebih, meskipun itu bukan tarif yang sebenarnya untuk angkot. Atau, untuk cari amannya, kalian memberikan pecahan uang Rp 5000 sampai Rp 10000, sekalian untuk mencari tahu berapa tarif sebenarnya.</div>
<div>
Biasanya, tarif angkot yang diterapkan oleh setiap jurusan angkot yang ada di Bandung ini berbeda-beda. Bahkan, engga sedikit juga tarif angkot yang berbeda diterapkan oleh jurusan angkot yang sama. Sebutan 'suka-suka mamang angkot' memang pantas diberikan kepada tarif angkot di Kota Bandung. </div>
<div>
Sebenarnya, saya pernah menanyakan tentang tarif angkot ini kepada Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung (yang namanya gakan pernah saya kasih tahu), dulu niat utama saya menanyakan hal ini kepada dia-yang-namanya-tidak-akan-disebut adalah untuk kepentingan pribadi sebagai pengguna angkot, karena saya merasa tidak pernah ada kejelasan tentang tarif angkot. Mau tau apa jawabannya?</div>
<div>
"Tidak pernah ada tarif tetap yang pasti untuk angkot di kota bandung, karena jarak tempuh angkot tidak sama seperti bis dalam kota maupun luar kota."</div>
<div>
Percaya apa engga, itulah jawabannya. Tadinya saya pengen ngebales "Kalo tarifnya aja gak jelas, terus kenapa angkot di Bandung banyak? Bukannya itu ngerugiin warga? Dan bukannya pemerintah juga seharusnya turun tangan juga tentang masalah tarif angkot yang gak jelas itu biar gada yang merasa dirugikan?" tapi akhirnya saya cuma diem sambil ngeliatin dia-yang-namanya-tidak-akan-disebut itu terus ngejelasin masalah yang semakin <i>rumeuk</i>. Daripada saya emosi, jadi mendingan diem aja.</div>
<div>
Tapi saran saya buat para pemula dan pengguna angkot, siapin pecahan uang Rp 1000, Rp 2000, juga Rp 5000. Jangan lupa juga siapin uang recehan atau koin sebanyak-banyaknya. Biarpun berat, recehan ini sangat berfungsi.</div>
<div>
Tentang tarif... saya siy menyarankan Rp 1000 buat jarak yang hanya beberapa meter saja; Rp 1.500 jika jarak tempuh kita melewati satu traffic light; Rp 2000 jika jarak tempuh kita melewati dua traffic light. Rp 5000 dari terminal ke terminal.</div>
<div>
Tapi tips ini sebenarnya belum teruji juga siy... Yang paling aman adalah sumpel telinga kita dengan earphone, dengarkan lagu sekeras-kerasnya dari hape waktu membayar angkot, pasanga tampang tidak berdosa (kalo bisa jangan lakukan kontak mata sama supirnya), yang terakhir adalah langsung ambil langkah seribu. Kalo supir angkot bisa kasih tarif suka-suka, kita juga bisa bayar suka-suka kan? </div>
<div>
<br /></div>
<div>
</div>meeghahttp://www.blogger.com/profile/02578982226655767577noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7211097435865982881.post-12018702179885130462011-11-01T08:43:00.000-07:002012-01-30T03:32:26.142-08:00Cerita Angkot #1<div style="font-family: Verdana,sans-serif;">
<b><span style="font-size: x-small;">Angkot: Menyebalkan Tapi Dibutuhkan</span></b></div>
<div style="font-family: Verdana,sans-serif;">
<span style="font-size: x-small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana,sans-serif;">
<span style="font-size: x-small; line-height: 115%;"> Angkot. Mendengar namanya, membuat pikiran kebanyakan orang langsung melanglangbuana ke daerah tempat saya dibesarkan, Bandung. Padahal, angkutan umum macam ini bukan hanya ada di Bandung saja. Di Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Cianjur, Malang, Surabaya, bahkan ibukota sendiri punya yang namanya angkot, hanya beda nama.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana,sans-serif;">
<span style="font-size: x-small; line-height: 115%;"> Tapi mungkin, karena angkot di Bandung ini luar biasa banyak sampai banyak kejadian yang bisa diceritain, maka orang akan berpikir Angkot identik dengan Bandung. Engga masalah dengan pikiran mereka yang menganggap Angkot adalah salah satu identitas dari kota Bandung, toh memang seperti itu kejadiannya. Tapi bukan sejarah Angkot yang bakal saya bagi di sini, tetapi setiap moment suka dan tidak suka saya selama menggunakan Angkot, yang pasti juga sering dialami oleh kalian para <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Angkoters</i>.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana,sans-serif;">
<span style="font-size: x-small; line-height: 115%;"> Saya kenal angkot sendiri sudah cukup lama, tetapi baru rutin menggunakan angkot ketika saya duduk di bangku SMP. Niat utama saya menggunakan Angkot ketika itu adalah karena saya ingin mengambil arah yang lebih jauh untuk tiba di sekolah. Padahal, kalau mau tahu rumah saya dan sekolah jaraknya tidak terlalu jauh, bahkan bisa sampai dengan menggunakan becak. Tapi karena saya ingin membangun image bahawa rumah saya cukup jauh dari sekolah, makanya saya mulai menggunakan angkot.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana,sans-serif;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-0pL-YvurnNo/TyZ-XbK-1BI/AAAAAAAAAJs/8PMiX0qKeWM/s1600/mega.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="http://1.bp.blogspot.com/-0pL-YvurnNo/TyZ-XbK-1BI/AAAAAAAAAJs/8PMiX0qKeWM/s320/mega.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: x-small; line-height: 115%;">Belum banyak angkot yang beredar saat itu, saya pun hanya menggunakan angkot Riung Bandung-Dago dengan ongkos Rp 200 (kalo bayar segitu sekarang pasti di tabok mamang angkotnya) dilanjut dengan angkot ST Hall-Sadang Serang dengan ongkos Rp 100 (makin di tabok klo sekarang bayar segitu). Pokoknya, saat SMP kelas 1 saya kurang lebih bawa uang sekitar Rp 5000 dan itu pasti sisanya banyak karena saya tidak banyak menggunakannya untuk angkot.</span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: x-small; line-height: 115%;"> Dan ketika rumah saya pindah ke daerah Riung Bandung saat kelas 2 SMP, makin giranglah saya. Bukan hanya karena saya bisa mendapatkan ongkos lebih, tapi juga karena saya bisa lebih lama duduk di Angkot. Saking cintanya sama Angkot, bahkan saya sampai lebih suka tidur di Angkot daripada di mobil sendiri. Yang pasti, waktu SMP dulu saya lebih cinta sama Angkot...</span></div>
</div>
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana,sans-serif;">
<span style="font-size: x-small; line-height: 115%;"> Kecintaan saya sama Angkot dilatarbelakangi oleh, dulu menurut saya Angkot yang ada masih belum banyak, supirnya masih ramah, dan saya belum mengalami ribuan kejadian yang bikin dongkol atau kejadian bodoh yang patut ditertawakan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Verdana,sans-serif;">
<span style="font-size: x-small; line-height: 115%;"> Sekarang kecintaan saya kepada Angkot berubah menjadi hanya sebuah kebutuhan sebagai seorang warga Bandung yang tidak bisa naik motor meskipun latarbelakang pekerjaan saya menuntut untuk menggunakannya. Jadi sekarang, di mata saya Angkot hanyalah alat transportasi umum yang menjengkelkan, tapi juga yang saya dibutuhkan.</span></div>meeghahttp://www.blogger.com/profile/02578982226655767577noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7211097435865982881.post-55258861378346677492011-09-10T05:52:00.000-07:002012-01-30T03:31:20.234-08:00Berdamai Dengan Kehidupan<br />
Bosan mulai melanda saat liburan hampir usai dan pulau dewata tak lagi memikat hatiku seperti yang berbulan-bulan lalu menggebu ingin kusambangi kembali. Terlebih ketika rumah keluargaku di Bali kembali sepi karena satu per satu mulai pergi dan kembali ke daerah masing-masing, meninggalkan kami keluarga dari Bandung di rumah yang terletak di tengah kota Denpasar.<br />
<br />
<a href="http://2.bp.blogspot.com/-7eoaEZ1FG2w/TmtdH1q2sRI/AAAAAAAAACY/aXz5FCmhqhg/s1600/lapangan+renon.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="239" src="http://2.bp.blogspot.com/-7eoaEZ1FG2w/TmtdH1q2sRI/AAAAAAAAACY/aXz5FCmhqhg/s320/lapangan+renon.jpg" width="320" /></a>Tiba-tiba tercetus ide untuk meninggalkan rumah, berjalan menapaki tanah beraspal daerah Puputan, berusaha menghibur hati dengan sebatang rokok yang berhasil kuselundupkan ke saku. Sebuah mini market didekat rumah tampak menggoda untuk kusambangi. Menghabiskan sebatang rokok, bosan tak juga pergi dari benakku. Akhirnya aku melihat menara museum Bajra Sandhi di tengah Lapangan Puputan.<br />
<br />
Sudah kesekian kalinya aku menginjakkan kaki di Lapangan Puputan yang luasnya dua kali lipat Lapangan Saparua di Bandung. Berulang kali aku berlari mengelilingi museum Bajra Sandhi untuk berolah raga setiap kali datang ke Bali, tetapi baru kali ini aku merasa tertarik untuk datang hanya sekadar untuk menikmati beragam kehidupan yang ada di Lapangan Puputan.<br />
<br />
Aku menemukan sebuah bangku dari batu marmer putih mengkilap, tepat di bawah rimbunnya pepohonan. Tanpa buang waktu, aku duduk di tempat tersebut dan dalam sekejap rasa bosan yang melanda, hilang tanpa jejak.<br />
<br />
Hijaunya hamparan padang rumput di tambah ratusan pohon yang tumbuh subur di atas tanah gembur, berhasil menjernihkan pikiranku yang selama ini hitam berjelaga. Kabut yang menyelimuti benakku langsung tersapu bersih kala kicauan suara burung bersautan dari pepohonan.<br />
<br />
Sinar mentari senja mengintip dibalik celah-celah pohon tepat di atas tempatku duduk bersandar dengan santai, angin bertiup lembut, menyapu muka dan menerbangkan setiap helai rambutku menambah kedamaian hidup yang selama ini tersangkut jauh di belakangku, kembali ke sisiku.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/--KApRC-tqz4/TmtdYFJeayI/AAAAAAAAACc/EEV2ARBpAxw/s1600/lapangan+renon+2.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://4.bp.blogspot.com/--KApRC-tqz4/TmtdYFJeayI/AAAAAAAAACc/EEV2ARBpAxw/s320/lapangan+renon+2.jpg" width="239" /></a></div>
<br />
Kuhirup udara kota Denpasar dalam-dalam sampai memenuhi paru-paruku, untuk pertama kalinya sejak mendapati pekerjaan yang semakin menggila setiap hari, aku merasa senang dengan kehidupan yang telah kudapatkan, mensyukuri semua yang sudah berhasil aku raih. Berdamai dengan kehidupan, adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan beberapa menit berada di tengah paru-paru kota Denpasar.<br />
Thanks to God for giving me a beautiful life, thanks to my parents and my big family for taking care of me until now, thanks to all my friends for sharing a good life with me..<br />
I Love You All *smooch*meeghahttp://www.blogger.com/profile/02578982226655767577noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7211097435865982881.post-65465381393694832782011-08-18T08:42:00.000-07:002011-08-18T08:42:36.968-07:00Bukan Penulis Yang BaikOkeeeyyy saya akuin, saya memang bukan penulis yang baik... mengisi blog ini pun seingetnya, semaunya... bukan karena saya tidak punya banyak waktu, tapi lebih karena saya bingung mau nulis apa... dan akhirnya lebih memilih waktu menulis dengan menonton film-film Korea yang saat ini makin marak.<br />
<br />
Dan jujur saja, sampai saat ini saya bingung harus nulis apa kecuali tentang "angkot" yang memang saya rencanakan akan saya ceritakan sejak awal saya mengenal "angkot".... dan karena saya adalah "angkoters", saya yakini kalau sejak memulai cerita tentang suka dukanya mengangkot akan terus tertulis secara rutin, layaknya cerita sinetron yang tidak ada habisnya... (akan habis ketika saya mulai membawa kendaraan yang entah kapan terjadi)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
meeghahttp://www.blogger.com/profile/02578982226655767577noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7211097435865982881.post-73306744696623337702011-05-08T02:52:00.000-07:002011-05-08T02:52:02.460-07:00Otak Kiri Memang Udah Tumpul Dari DuluAngka 1, 2, 3 dan seterusnya memang gak terlalu sulit buat otak kiri saya. Tapi kalau angka itu dijumlah, dikali, dibagi di tambah persen... doooh... buntuu... <br />
<br />
dari cerita sebelumnya juga udah pada tau kalau segitu tidak berbakatnya saya sama tambah-tambahan, kali-kalian, bagi-bagian... pokoknya hal-hal yang menyangkut perhitungan akan selalu membuat otak saya berputar keras dan akhirnya kelelahan, alias Lieur...<br />
<br />
Bakat tidak berguna itu, akhirnya terbawa sampai sekarang ke kerjaan saya yang sekarang. Dari semua desk wartawan yang ada, saya selalu kewalahan ketika harus meliput ekonomi. Karena narasumber dan pertanyaan dari para wartawan lain selalu berkaitan dengan angka, yang sudah pasti membuat sakit kepala dan akhirnya mual.<br />
<br />
Pernah satu kali, saya harus pergi ke salah satu cafe di PVJ untuk liputan Honda yang launcing tim racing baru karena bergabung dengan tim racing besar lain (saya lupa nama timnya). Intinya, di sana saya ketemu sama para wartawan ekonomi yang sudah siap dengan pertanyaan seputar, "berapa persen produksi tahun ini" dll, dll<br />
<br />
Ketika giliran wawancara, saya siap mencatat data dengan blackberry di tangan, tampang udah sok ngerti, ketika pertanyaan pertama dari salah satu wartawan terlontar, saya mencatat jawaban narasumber (belum berkaitan dengan angka) dengan cepat. Ketika pertanyaan kedua terlontar yang mulai menanyakan persenan, otak saya langsung berputar keras, dan saya diam beberapa saat untuk mencerna pertanyaan serta jawabannya.<br />
<br />
Tapi lama-lama kok omongan mereka berasa semakin aneh, keringat dingin langsung keluar di sekitar wajah sampai ketiak. Dan saya merasa tengah berada di tengah perkumpulan alien yang sedang melakukan tanya jawab dengan bahasa yang sama-sama alien. Aduh, sumpah... kepala saya sakit banget... akhirnya saya mengendap-endap dan pergi meninggalkan acara tanya jawab itu dan memilih untuk menghabiskan sisa makanan saya di meja.<br />
<br />
Armin, salah seorang fotografer dari Bisnis Indonesia yang kebetulan duduk di sebelah saya saat itu bertanya: "Udah selesei, Meg wawancaranya?" <br />
<br />
Saya cuma bisa angkat bahu sambil nyengir dan ngejawab: "aq mah udah selesei, cukup lah di tambah yang dari rilis," jawab saya sambil pasang tampang sok santai. Padahal kalau dia tahu betapa kusutnya otak kiri saya sampai akhirnya saya memutuskan menyerah dengan wawancara dengan bahasa alien itu...<br />
<br />
Kejadian ini terulang lagi kemarin, ketika ada acara Honda Jazz Stars 3 di Ciwalk. Karena sekarang saya memegang berita life style yang juga berkaitan dengan hiburan, jadi saya ikut hadir di acara itu. Dan sudah bisa dipastikan, wartawan yang hadir semuanya wartawan ekonomi. <br />
<br />
Kebetulan, saya duduk semeja sama Kang Agus dari Galamedia, ngobrol kesana-kesini, waktu saya nanya: "emang enak ya kang klo pegang ekonomi?"<br />
<br />
Dengan santai, dia menjawab: "enak, soalnya otak lebih kerja keras daripada wartawan kriminal, lebih banyak wawasan dari pada pegang provinsi atau kota."<br />
<br />
Dengar jawaban ala kang agus, saya cuma bisa nyengir sambil ngomong: "Kalo saya kang, otak kiri saya kayaknya udah tumpul dari SMA, dari SD malah... g sanggup saya ngurusin angka."<br />
<br />
Tapi untungnya, wawancara kemarin berlangsung lumayan lancar karena tidak terlalu banyak ngomongin angka, dan lebih cenderung ke teknis acara dan program lanjutannya dari Honda Jazz. Jadi sambil ngelus dada, saya ngomong: "Alhamdulillaaaaaaaahhhh" di dalam hati.meeghahttp://www.blogger.com/profile/02578982226655767577noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7211097435865982881.post-6622222935988262952010-09-04T09:22:00.000-07:002010-09-04T09:22:24.916-07:00Cita-cita Saya Jadi Dokter!!Dulu waktu TK, ada pertanyaan yang selalu di ulang-ulang... bukan hanya sama guru TK, tapi juga sama ibu-ibu yang suka pada nungguin anak-anaknya (temen-temen TK saya juga) pulang sekolah, duduk di depan kelas sambil ngerumpi (ciri khas ibu-ibu pisanlah...)<br />
<br />
"Mega, klo udah gede memangnya mau jadi apa? cita-citanya apa sih?" (berasa lagunya suzan dan ria enes) pertanyaan selalu kayak gitu... dan jawabannya, selalu sama juga. "Aku mau sekolah di SMA 5 biar jadi Dokter!!!!"<br />
<br />
Belakangan saya tau, kalo jadi dokter itu IPA nya harus bagus, Biologi, Kimia, Fisika, Matematika... dan belakangan juga saya baru tau kalo saya sangat tidak suka dengan pelajaran Kimia, Fisika, Matematika... pernah sewaktu baru lulus TK dan masuk SD. (ngomong-ngomong TK saya di Merpati Pos, dan SD saya, yang sampe sekarang masih percobaan, dan mungkin memang seharusnya anak-anak SD Sabang belum lulus semua karena lulusnya masih dalam tahap percobaan,, hahahahahahahaha,,)<br />
<br />
Ada pelajaran tambah-tambahan... waktu TK siy gampang, paling juga 1+1 = 2, dan seterusnya, dan seterusnya... tapi naek kelas satu tambah-tambahannya jadi dua angka... pertanyaannya adalah, 10+2 = ...<br />
dan yang saya jawab adalah 102, dan akhirnya jreng, jreng, jreng.... saya dapet nilai 0 wuaaaaaaahahahahahahahahahaha...<br />
<br />
Dan sekarang saya sadar, perjalanan menjadi dokter itu memang sangat sulit ditempuh, bagaikan semut yang menyukai gajah, <span style="font-size: small;">(</span><span style="font-size: small;">c'est impossible non?)</span>... terutama untuk orang yang nilai matematikanya 0, padahal pertanyaannya cuma 10+2.meeghahttp://www.blogger.com/profile/02578982226655767577noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7211097435865982881.post-21538265439787803552010-09-04T00:23:00.000-07:002010-09-04T00:23:22.778-07:00journey to the joyful<div style="font-family: Verdana,sans-serif;">Journey to the Joyful, </div><div style="font-family: Verdana,sans-serif;"> </div><div style="font-family: Verdana,sans-serif;">Kenapa saya bikin judul seperti ini?? yaah... selain memang saya suka jalan-jalan yang menimbulkan kegembiraan, tetapi juga karena perjalanan menuju kesenangan itu tidak selamanya mulus dan lancar...</div><div style="font-family: Verdana,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Verdana,sans-serif;">Butuh waktu hingga puluhan tahun untuk dapat menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya, jadi ya... mulai hari ini saya akan mulai menulis segala macam kesenangan dan kesusahan perjalanan hidup saya (siga artis wae, jeng...), walaupun saya bukan artis, heuehuehuehueheu..</div><div style="font-family: Verdana,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Verdana,sans-serif;">karena ini cuma tes, jadi tulisannya sampe sini dulu ya... </div><div style="font-family: Verdana,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Verdana,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Verdana,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Verdana,sans-serif;"><br />
</div>meeghahttp://www.blogger.com/profile/02578982226655767577noreply@blogger.com0