“Tau ngga kamu, dek?
Di danau itu sebenarnya ada monster. Besar, bentuknya kayak naga. Muncul setiap
malam.” Ucapan si Kakak belasan tahun lalu itu, kembali muncul dalam kepala
saat mata menangkap kolam buatan di sudut Taman Hutan Raya.
Tak ada yang berubah dari kolam itu sejak belasan tahun
lalu. Airnya masih tetap keruh. Banyak hewan terbang di atasnya. Entah lalat,
entah nyamuk. Dan mungkin juga, monster yang disebut si Kakak waktu itu masih
bersembunyi di dalamnya. Yang berubah hanya, ukurannya.
Dulu, ketika masih Taman Kanak-Kanak, Taman Hutan Raya
sering jadi tujuan piknik Minggu Pagi bersama Pap’s. Perasaan kurang menyenangkan selalu muncul
saat melewati kolam. Rasanya menakutkan melihat kolam dengan ukuran sebesar
danau. Airnya keruh, seolah dalam. Ditambah cerita khayalan yang ditanam si
Kakak.
Sekarang, kolam itu tak lagi mengintimidasi. Kolam itu
seolah menciut, dari kolam raksasa serupa danau menjadi empang. Rasa takut pun berubah menjadi sedih, lantaran
kolam terlihat kotor dan kumuh. Bahkan
tempat ngopi kekinian di samping kolam, tak membuatnya terlihat lebih indah.
Dia tetap kumuh.
Kolam hanya bagian kecil dari ingatan masa lalu yang
tiba-tiba muncul di kepala pada Rabu siang kemarin. Sebenarnya, tidak ada niat
untuk bernostalgia di hutan yang besarnya tak seberapa itu. Hanya keinginan
mendadak untuk menikmati udara sejuk dan menghirup udara segar. Sendiri.
Iya, sendirian. Memang biasanya, saya piknik bersama teman.
Entah itu sepedaan, entah itu trekking, entah itu main hammock. Selalu ada
teman-teman di sekeliling saya. Kemarin, tiba-tiba saja ingin jalan sendiri ke
hutan. Dan pergilah saya ke hutan terdekat.
Begitu membayar tiket sebesar 12 ribu rupiah, pohon-pohon
tua langsung menyambut. Aroma tanah basah. Udara sejuk mendekati dingin. Dan...
Hujan. Sebagainya penyuka hujan, saya senang-senang saja disambut rintik-rintik
air dari langit. Ketika hujannya membesar, barulah saya berteduh di sebuah
saung bobrok.
Sambil menunggu hujan mereda, beberapa gambaran masa lalu
muncul. Termasuk ketika gigi si Kakak tanggal ketika makan jagung bakar di
Tahura. Saya lupa, posisi tukang jagung bakarnya. Yang saya ingat, ketika
gigitan pertama, tiba-tiba dia mengaduh dan satu gigi jatuh. Bukannya nangis,
dia malah nyengir memamerkan ‘jendela’ baru kepada saya, Pap’s dan Emak.
“Lempar ke atas, Yu,” kata Pap’s waktu itu yang langsung
dituruti oleh si Bayu, kakak saya.
Taman Hutan Raya memang seolah luas padahal tidak. Yang
membuat kaki lelah adalah konturnya yang mendaki dan menurun. Meski begitu,
satu hingga dua jam perjalanan cukup untuk mengisi paru-paru dengan udara baru.
Ditambah pemandangan yang jarang didapat.
Sudah sering saya menginjakkan kaki di Taman Hutan Raya.
Seperti kebanyakan orang, saya dan beberapa teman datang pada akhir pekan untuk
piknik sambil olahraga. Karena perjalanan kami tak berhenti sampai Goa Belanda
yang sampai sekarang masih jadi sarang makhluk tak kasat mata. Tapi terus
sampai Maribaya. Melewati penangkaran rusa, tujuh tanjakan, dan beberapa pohon
rubuh.
Di akhir pekan, para penghuni tetap Taman Hutan Raya
biasanya baru muncul ketika mendekati Maribaya. Mereka nongkrong cantik di atas
pagar dengan bajunya yang berwarna abu-abu dan putih. Tak jarang makanan ada di
tangan mereka. Mungkin saking banyaknya tamu yang datang, para penghuni ini
malas atau takut menyambut tamu-tamu. Mereka lebih memilih bersantai di atas
pohon sambil menikmati makanannya atau mengasuh anaknya.
Sementara kemarin, saat tak banyak pengunjung, para penghuni
ini bahkan sudah mulai menampakkan diri di pintu masuk. Beberapa turun ke
jalan, tetapi ada juga yang diam di dahan pohon paling rendah. Matanya awas,
memperhatikan tamu-tamu yang masuk ke rumahnya. Banyak juga yang bercanda di
dekat patung Djuanda.
Monyet-monyet juga menyambut kedatangan tamu di pintu masuk
Goa Belanda. Ada yang terhibur dengan kehadirannya, ada juga yang menjerit
ketakutan lantaran para penghuni tetap Taman Hutan Raya itu berlarian ke sana
ke mari. Loncat ke semak-semak, naik ke pohon dan mengintip dari balik pohon.
Yang jelas, kehadiran para monyet itu kembali mengingatkan
saya pada Minggu Pagi belasan tahun lalu. Ketika Pap’s menunjuk ke atas pohon di
dekat pintu masuk Taman Hutan Raya. “Tuh de, ada monyet!” yang langsung
ditanggapi oleh si Kakak. Sementara saya, hanya plenga plengo mencari apa yang
ditunjuk Pap’s, tapi tak juga mendapat monyet yang dimaksud.
Kemarin, tanpa jari telunjuk Pap’s saya bisa melihat gerakan
monyet. Bahkan di puncak pohon tertinggi di Taman Hutan Raya.
Tidak banyak yang berubah dari Taman Hutan Raya, kecuali
tukang ojeg yang betebaran di beberapa sudut taman. Menawarkan tour dengan
motornya. Silakan naik, kalau memang ingin piknik tanpa lelah dan silakan
menolak dengan halus jika merasa butuh jalan santai sambil menghirup udara
segar.