boleh baca tapi jangan ditiru, selamat membaca, siapa tahu berguna....

Minggu, 12 Februari 2017

Maaf Itu Mahal

Perempuan itu ada di sana. Di balik pintu rumah, bersama dua teman lainnya. Lulu dan Lele. Ketiganya melangkah, melewati pintu. Satu per satu mengucap belasungkawa sambil memberikan pelukan hangat, kepada saya. Termasuk dia, perempuan berjilbab dan berkacamata. Anggap saja, namanya Alin.

Buat saya, kedatangan Alin saat Papah meninggal merupakan kejutan. Karena sudah lebih dari dua tahun kami tidak berkomunikasi. Padahal, profesi kami sama. Teman kami sama. Sering juga jumpa di berbagai tempat. Meski begitu, saya selalu menganggapnya tak ada.

Alasannya sederhana. Saya merasa tidak melakukan kesalahan kepada Alin, yang pada suatu hari melakukan aksi bisu. Tanpa penjelasan, dia marah dan memutuskan hubungan pertemanan yang sudah terjalin lama.

Sebenarnya, saya mendengar banyak gosip terkait aksi yang dilakukan Alin. Tapi saya tak pernah mau ambil pusing. Mau membisu sampai tua pun, itu haknya si Alin. Cuma ya, selama dia menganggap saya tak ada, saya pun akan melakukan hal serupa. Dan sebaliknya, ketika dia menyapa, bertanya, atau mengajak bicara saya akan menanggapinya.

Alin, bukan satu-satunya yang pernah saya anggap tak ada di muka bumi. Masih ada beberapa teman, yang mendadak membisu,  marah tanpa memberi penjelasan dan keterangan lengkap apa kesalahan saya.
Ketika mereka mulai mengajak saya bicara atau minimal menyapa saat jumpa, saya akan dengan mudah melupakan kejadian sebelumnya. Menganggap semua baik-baik saja dengan beberapa catatan tertentu. Misalnya saja, ‘jangan terlalu dekat dengan si A’.

Tapi sesungguhnya, memaafkan orang itu bukan hal yang mudah buat saya. Terlebih ketika perkataan atau perbuatannya sudah menggores hati, meski hanya secuil. Baik sengaja atau tidak. Misal berbohong. Sekecil apapun jenis bohongnya, kalau sudah membuat sakit ya... Maafkan saya, kalau saya anggap kamu bukan bagian dari makhluk hidup di muka bumi.

Jadi, meski sudah menganggap saya tak ada selama bertahun-tahun, tetapi masih bisa membuat saya mengeluarkan beberapa patah kata di kemudian hari, selamat... Kalian sudah lolos dari catatan hitam Mega Dwi Anggraeni.




Jumat, 03 Februari 2017

Hutan, Sendiri, dan Memori

“Tau ngga kamu, dek? Di danau itu sebenarnya ada monster. Besar, bentuknya kayak naga. Muncul setiap malam.” Ucapan si Kakak belasan tahun lalu itu, kembali muncul dalam kepala saat mata menangkap kolam buatan di sudut Taman Hutan Raya.




Tak ada yang berubah dari kolam itu sejak belasan tahun lalu. Airnya masih tetap keruh. Banyak hewan terbang di atasnya. Entah lalat, entah nyamuk. Dan mungkin juga, monster yang disebut si Kakak waktu itu masih bersembunyi di dalamnya. Yang berubah hanya, ukurannya.

Dulu, ketika masih Taman Kanak-Kanak, Taman Hutan Raya sering jadi tujuan piknik Minggu Pagi bersama Pap’s.  Perasaan kurang menyenangkan selalu muncul saat melewati kolam. Rasanya menakutkan melihat kolam dengan ukuran sebesar danau. Airnya keruh, seolah dalam. Ditambah cerita khayalan yang ditanam si Kakak.

Sekarang, kolam itu tak lagi mengintimidasi. Kolam itu seolah menciut, dari kolam raksasa serupa danau menjadi empang.  Rasa takut pun berubah menjadi sedih, lantaran kolam terlihat kotor dan kumuh.  Bahkan tempat ngopi kekinian di samping kolam, tak membuatnya terlihat lebih indah. Dia tetap kumuh.

Kolam hanya bagian kecil dari ingatan masa lalu yang tiba-tiba muncul di kepala pada Rabu siang kemarin. Sebenarnya, tidak ada niat untuk bernostalgia di hutan yang besarnya tak seberapa itu. Hanya keinginan mendadak untuk menikmati udara sejuk dan menghirup udara segar. Sendiri.

Iya, sendirian. Memang biasanya, saya piknik bersama teman. Entah itu sepedaan, entah itu trekking, entah itu main hammock. Selalu ada teman-teman di sekeliling saya. Kemarin, tiba-tiba saja ingin jalan sendiri ke hutan. Dan pergilah saya ke hutan terdekat.

Begitu membayar tiket sebesar 12 ribu rupiah, pohon-pohon tua langsung menyambut. Aroma tanah basah. Udara sejuk mendekati dingin. Dan... Hujan. Sebagainya penyuka hujan, saya senang-senang saja disambut rintik-rintik air dari langit. Ketika hujannya membesar, barulah saya berteduh di sebuah saung bobrok.

Sambil menunggu hujan mereda, beberapa gambaran masa lalu muncul. Termasuk ketika gigi si Kakak tanggal ketika makan jagung bakar di Tahura. Saya lupa, posisi tukang jagung bakarnya. Yang saya ingat, ketika gigitan pertama, tiba-tiba dia mengaduh dan satu gigi jatuh. Bukannya nangis, dia malah nyengir memamerkan ‘jendela’ baru kepada saya, Pap’s dan Emak.

“Lempar ke atas, Yu,” kata Pap’s waktu itu yang langsung dituruti oleh si Bayu, kakak saya.
Taman Hutan Raya memang seolah luas padahal tidak. Yang membuat kaki lelah adalah konturnya yang mendaki dan menurun. Meski begitu, satu hingga dua jam perjalanan cukup untuk mengisi paru-paru dengan udara baru. Ditambah pemandangan yang jarang didapat.

Sudah sering saya menginjakkan kaki di Taman Hutan Raya. Seperti kebanyakan orang, saya dan beberapa teman datang pada akhir pekan untuk piknik sambil olahraga. Karena perjalanan kami tak berhenti sampai Goa Belanda yang sampai sekarang masih jadi sarang makhluk tak kasat mata. Tapi terus sampai Maribaya. Melewati penangkaran rusa, tujuh tanjakan, dan beberapa pohon rubuh.


Di akhir pekan, para penghuni tetap Taman Hutan Raya biasanya baru muncul ketika mendekati Maribaya. Mereka nongkrong cantik di atas pagar dengan bajunya yang berwarna abu-abu dan putih. Tak jarang makanan ada di tangan mereka. Mungkin saking banyaknya tamu yang datang, para penghuni ini malas atau takut menyambut tamu-tamu. Mereka lebih memilih bersantai di atas pohon sambil menikmati makanannya atau mengasuh anaknya.

Sementara kemarin, saat tak banyak pengunjung, para penghuni ini bahkan sudah mulai menampakkan diri di pintu masuk. Beberapa turun ke jalan, tetapi ada juga yang diam di dahan pohon paling rendah. Matanya awas, memperhatikan tamu-tamu yang masuk ke rumahnya. Banyak juga yang bercanda di dekat patung Djuanda.

Monyet-monyet juga menyambut kedatangan tamu di pintu masuk Goa Belanda. Ada yang terhibur dengan kehadirannya, ada juga yang menjerit ketakutan lantaran para penghuni tetap Taman Hutan Raya itu berlarian ke sana ke mari. Loncat ke semak-semak, naik ke pohon dan mengintip dari balik pohon.


Yang jelas, kehadiran para monyet itu kembali mengingatkan saya pada Minggu Pagi belasan tahun lalu. Ketika Pap’s menunjuk ke atas pohon di dekat pintu masuk Taman Hutan Raya. “Tuh de, ada monyet!” yang langsung ditanggapi oleh si Kakak. Sementara saya, hanya plenga plengo mencari apa yang ditunjuk Pap’s, tapi tak juga mendapat monyet yang dimaksud.

Kemarin, tanpa jari telunjuk Pap’s saya bisa melihat gerakan monyet. Bahkan di puncak pohon tertinggi di Taman Hutan Raya.

Tidak banyak yang berubah dari Taman Hutan Raya, kecuali tukang ojeg yang betebaran di beberapa sudut taman. Menawarkan tour dengan motornya. Silakan naik, kalau memang ingin piknik tanpa lelah dan silakan menolak dengan halus jika merasa butuh jalan santai sambil menghirup udara segar.