Rumah di sudut Jalan Ermawar itu tua. Mungkin usianya sudah
mencapai puluhan bahkan ratusan tahun. Dindingnya putih kusam. Pintu garasinya
terbuat dari seng dan sudah bolong-bolong. Penghuninya bisa menjadikan lubang
itu untuk mengintip siapapun yang menekan bel untuk bertamu. Atau mengintip
tetangga yang sedang dimusuhi.
Ada pohon jambu yang tumbuh subur di halaman depannya.
Setiap musimnya, buah-buah berwarna merah muncul. Sementara di bagian samping,
sebuah pohon kelengkeng dan cermei menjulang tinggi. Ketiga pohon itu
melindungi rumah dari panas matahari, tetapi mengundang ulat bulu dan bunglon
untuk bermain di sekitar rumah.
Rumah bernomor dua itu juga sangat besar. Ada enam kamar
tidur di dalamnya. Dua kamar utamanya, terletak di bagian depan rumah. Di
samping ruang tamu dan ruang televisi. Ukurannya, kira-kira bisa menampung satu
tempat tidur king size, satu tempat tidur single, dua lemari baju, dan satu
lemari belajar. Sementara empat kamar di belakang, ukurannya lebih kecil.
Tetapi, tetap saja besar. Saking besarnya, jika menempatkan sebuah tempat tidur
queen size, satu lemari baju dan satu meja belajar, kita masih bisa bergerak
dengan leluasa.
Selain memiliki enam kamar berukuran besar, rumah itu juga
memiliki satu taman di bagian tengah yang terhubung dengan garasi. Tamannya
cukup luas, hingga para penghuninya bisa bermain bola. Sementara di bagian
belakang, ada satu taman lagi yang kerap dijadikan kandang peliharaan oleh si
empunya rumah. Seorang janda bernama Siti Sumarsiah.
Rumah yang ditempati oleh Siti untuk membesarkan kesembilan
anaknya itu bukan satu-satunya di Jalan Ermawar. Di sepanjang 500 meter Jalan
Ermawar, hampir semua rumahnya memiliki besar dan kondisi yang serupa dengan
rumah nomor dua. Beberapa rumah saja yang terlihat lebih baik karena rutin
diperbaiki.
Kebanyakan, penghuni rumah di Jalan Ermawar adalah janda dan
pensiunan TNI. Ada banyak cerita lahir di sepanjang Jalan Ermawar. Setiap rumah
memiliki sejarahnya sendiri. Begitu juga dengan rumah nomor dua.
Di rumah nomor dua itu, Siti membesarkan kesembilan anaknya
sampai mereka menikah dan memberikan keturunan. Dari sembilan anaknya, hanya dua
yang memutuskan tinggal di rumah itu untuk menemani sang ibu. Yang pertama
adalah Tati Endang Dradjati, anak perempuan tertua di keluarga yang menikahi
Rochmatul Darodjat. Yang kedua adalah Endang Prayekti Rahayu yang menikahi
seorang pria asal Surabaya, Mas Kokok Eko Kintadi. Sementara yang lainnya,
meninggalkan rumah untuk membuat kisah baru di rumah baru bersama keluarga
baru.
Sebelum memutuskan tinggal di rumah masa kecilnya, Tati
sempat ikut suaminya ke berbagai kota. Mulai dari Jakarta sampai Surabaya. Dia
juga sempat tinggal di Malang, usai melahirkan anak keduanya, Mega Dwi
Anggraeni. Maklum, sang suami merupakan pegawai pemerintah yang kerjanya berdasarkan
proyek. Dan keluarga itu baru kembali ke Bandung ketika Mega berusia tiga
tahun.
Tumbuh dan besar di Bandung membuat Mega kebingungan jika
seseorang menanyakan kampung halamannya. Bagaimana tidak? Ayahnya, besar dan
tumbuh di tempat kelahirannya, Malang. Ibu, bukan orang Bandung asli, meski
lahir dan besar di Bandung. Bogor dan Madiun, melebur di darahnya. Sementara
dia, lahir di Surabaya dan tumbuh di Bandung.
Beberapa kali dia sempat diajak “pulang kampung” oleh sang
Ayah ke Malang. Tapi Mega selalu merasa, Malang bukan kampung halamannya.
Malang hanya tempat tinggal nenek dari ayahnya dan juga adik-adik ayahnya, yang
sesekali dia kunjungi.
Belakangan, dia mulai berpikir “kampung halaman”nya adalah
Jalan Ermawar. Lantaran hampir 11 tahun dia tumbuh di sana. Di sana juga, Mega
mulai belajar berteman. Apalagi, di sepanjang jalan itu ada lima orang yang
seumur dengannya. Ada Angki, Risa, Arif, Andy, dan Candra.
Kelima orang inilah yang kerap menghabiskan waktu bersama
Mega. Sepulang sekolah, keenamnya berkumpul. Terkadang dua sepupu Mega, Oka dan
Setio ikut bergabung dengan geng Ermawar ini, bermain kucing-kucingan. Main
sepeda keliling komplek. Jajan di warung langganan. Mencuri buah kersen di
komplek sebelah. Atau berkumpul di salah satu rumah, hanya sekadar untuk
ngobrol dan becanda. Geng itu akan semakin besar ketika Kakaknya Mega dan
teman-temannya dari komplek sebelah bergabung.
Bukan hanya itu, Mega merasa di Ermawar juga dia bisa
berkumpul bersama keluarga dengan format lengkap. Meski hanya keluarga dari
sang ibu. Karena hampir setiap hari Tante, Om, dan sepupu-sepupunya datang
sepulang sekolah dan pulang ketika malam.
Ketika hari Raya Lebaran tiba, rumah berusia ratusan tahun
itu akan semakin ramai. Maklum, Siti sang nenek merupakan anak perempuan tertua
yang ada di Bandung. Beberapa adiknya yang tinggal di sekitar Bandung selalu
mengunjunginya, tak ketinggalan membawa anak dan juga cucunya. Tak heran jika
Tati dan ibunya selalu sibuk menyiapkan berbagai makanan di rumah. Ada rendang,
opor, dan berbungkus-bungkus ketupat. Semuanya bisa habis dalam sehari.
Tapi rutinitas di Ermawar nomor dua itu harus terhenti. Karena rumah tersebut milik negara,
jadi sekitar satu tahun setelah Siti meninggal, dua keluarga yang masih tinggal
di sana pun harus meninggalkan rumah. Begitu juga dengan Mega dan keluarganya.
Kini Mega dan keluarganya tinggal di sebuah rumah di daerah
Bandung Timur. Jauh dari tengah kota. Teman-teman masa kecilnya juga tak lagi
mendiami Jalan Ermawar. Jalanan itu kini sepi. Tak ada celoteh, canda, dan tawa
anak-anak lagi setiap sore.
Meski begitu, sampai saat ini Mega masih mengunjungi Jalan
Ermawar. Beberapa waktu lalu, ketika ayahnya masih ada dan ibunya masih sehat,
keduanya mengajak Mega, kakak dan adiknya untuk Sholat Ied di sana.
“Kita pulang kampung dulu,” celoteh sang ayah sambil
melajukan mobilnya.
Kini Mega berpikir. Kampung halaman, bukan hanya tempat kau
dilahirkan. Bukan hanya sekadar tempat kau dibesarkan. Tetapi tempat di mana
kau bisa dekat dengan keluarga dan juga teman. Tempat yang melahirkan berjuta
kenangan tak terlupakan.